Raja Thailand Pertama

Raja Thailand Pertama

- Suree Sukha akan jadi pemain Thailand pertama yang merumput di

setelah memesona dalam dua pekan masa uji coba di klub Manchester City.Setelah dimiliki mantan perdana menteri Thailand, Thaksin Shinawatra, pintu Manchester City dibuka lebar buat para pesepakbola negeri "Gajah Putih". Dua pekan lalu, tiga pemain Thailand memulai masa latihan di Eastland dengan pengawasan manajer Sven Goran Eriksson. Selama kurun waktu masa

itu tampaknya figur Suree, seorang bek kanan berusia 25 tahun, dinilai cukup berkualitas untuk menjajal kerasnya Liga Primer Inggris. "Suree akan akan jadi pemain Thailand pertama yang bermain di Liga Primer. Ijin kerjanya sekarang sedang diproses," ujar pengacara Thaksin, Noppadon Pattama, seperti dilansir

, Jumat (31/8/2007).Pada tahun 1999 silam pemain legendaris Thailand Kiatisuk "Zico" Senamuang pernah mendarat ke Inggris untuk bermain klub Huddersfield Town. Namun klub itu bukanlah tim dari divisi utama Liga Inggris.

Suree Sukha (kanan) saat berlaga di Piala Asia, menghadapi dua pemain Irak Haitham Tahir (tengah) dan Basem Gatea (kiri) (AFP).

Tahan Thailand, Indonesia raih poin pertama di Kualifikasi Piala Dunia 2022 Zona Asia

Bermain di Stadion Al Maktoum, Dubai, Uni Emirat Arab, Timnas Indonesia mampu menahan imbang tim Gajah Putih dengan skor akhir 2-2.

Sejak peluit pertama dibunyikan, Timnas Thailand sudah tancap gas dengan menciptakan peluang lewat tendangan jarak jauh Phitiwat, namun masih bisa di tepis oleh kiper Nadeo Argawinata dan menghasilkan tendangan pojok bagi Thailand.

Namun, peluang tendangan pojok mampu dimanfaatkan menjadi gol oleh Thailand di menit ke-4. Situasi kemelut di depan gawang, Narubadin Weerawatnodom mampu melesatkan tendangan ke sisi pojok kiri ke gawang Indonesia.

Indonesia mampu menyamakan kedudukan menjadi 1-1 di menit ke 39. Berawal dari akselerasi Evan Dimas kemudian memberikan umpan ke Syahrian Abimanyu, Abimanyu mengirim umpan terobosan yang cantik ke Kadek Agung. Lolos dari jebakan offside dan berhadapan satu lawan satu dengan kiper Thailand, Kadek berhasil menjebol gawang Thailand.

Memasuki babak kedua, Thailand kembali unggul cepat di menit ke-50 lewat Striker utama mereka, Adisak Kraisorn. Striker Thailand tersebut mampu menyundul bola ke sisi pojok gawang Nadeo.

Indonesia tidak menyerah, di menit ke-60 mereka mampu membalas gol yang dicetak sang kapten, Evan Dimas Darmono. Memanfaatkan tendangan Egy Maulana Vikri yang diblok bek Thailand, bola mengarah ke Evan Dimas yang lolos dari offside dan mampu menceploskan bola ke gawang Thailand.

Skor 2-2 tidak berubah hingga akhir pertandingan. Dengan skor ini Timnas Indonesia masih berada di posisi juru kunci dengan koleksi 1 poin dan Timnas Thailand berada di posisi ketiga dengan koleksi 9 poin.

- Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz diketahui memiliki 13 anak dari tiga istrinya. Dari 13 anak itu, Raja Salman hanya memiliki satu putri yang bernama Putri Hussa. Sisanya merupakan para pangeran yang menduduki posisi-posisi penting dalam pemerintahan Saudi.

Istri pertamanya bernama Sultana binti Turki Al Sudairi, yang merupakan saudara sepupunya sendiri. Dengan Sultana, Raja Salman memiliki enam anak -- lima laki-laki dan satu perempuan -- yakni Pangeran Fahd, Pangeran Ahmed, Pangeran Sultan, Pangeran Abdulaziz, Pangeran Faisal, dan Putri Hussa.

Pangeran Fahd dan Pangeran Ahmed telah meninggal dunia pada tahun 2001 dan 2002 lalu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pangeran Sultan bin Salman Foto: arabnews.com

Seperti dikutip dari situs

, Rabu (1/3/2017), Pangeran Sultan bin Salman yang lahir tahun 1956, kini menjabat sebagai Ketua Komisi Pariwisata dan Warisan Nasional Saudi (SCTH). Dia juga

dan pemimpin direksi King Salman Center for Disability Research (KSCDR).

Pangeran Sultan tercatat sebagai anggota keluarga Kerajaan Saudi pertama, juga warga Arab dan warga muslim pertama yang terbang ke luar angkasa. Dia terbang ke luar angkasa dengan

pada Juni 1985 lalu. Mantan pilot Angkatan Udara Saudi tersebut merupakan anggota keluarga kerajaan pertama yang menjadi astronot.

Pangeran Faisal bin Salman Foto: SPA/arabnews.com

Pangeran Abdulaziz bin Salman yang lahir tahun 1960, diketahui menjabat Wakil Menteri Urusan Perminyakan Saudi sejak tahun 1995. Kemudian Pangeran Faisal bin Salman yang lahir tahun 1970 kini menjabat Gubernur Provinsi Madinah. Pangeran Faisal memiliki gelar doktor Hubungan Internasional dari kampus bergengsi Oxford di Inggris.

Sementara Putri Hussa binti Salman yang lahir tahun 1974, diketahui banyak terlibat proyek-proyek amal di Saudi. Dia juga dikenal aktif memperjuangkan peningkatan peran kaum perempuan Saudi di berbagai bidang.

Istri kedua Raja Salman bernama Sarah binti Faisal Al-Subai'ai. Dari pernikahannya dengan istri keduanya, Raja Salman hanya memiliki satu putra bernama Pangeran Saud. Tidak banyak hal yang diketahui tentang Pangeran Saud bin Salman. Namun berbagai informasi menyebut Pangeran Saud bin Salman banyak berkiprah dalam berbagai aktivitas amal. Dia diketahui telah menikah dan memiliki satu anak laki-laki.

Pangeran Mohammed bin Salman Foto: SPA/arabnews.com

Dengan istri ketiganya yang bernama Fahda binti Falah bin Sultan Al Hithalayn, Raja Salman juga memiliki enam anak yang semuanya laki-laki. Keenam anaknya itu antara lain Pangeran Mohammed, Pangeran Turki, Pangeran Khalid, Pangeran Nayif, Pangeran Bandar, dan Pangeran Rakan.

Pangeran Mohammed bin Salman yang lahir tahun 1985 menjadi sosok yang cukup menonjol. Dia terpilih menjadi Wakil Putra Mahkota Saudi dan juga menjabat sebagai Wakil Kedua Perdana Menteri Saudi. Pangeran Mohammed juga mencetak sejarah sebagai Menteri Pertahanan termuda di dunia.

Pangeran Turki bin Salman (duduk) Foto: arabnews.com

Adiknya, Pangeran Turki bin Salman yang lahir tahun 1987, menjabat Pemimpin Dewan Direksi

selama setahun, sebelum mengundurkan diri tahun 2014 lalu. Dia juga dikenal sebagai pengusaha.

Pangeran Khalid bin Salman, menurut

, merupakan seorang pilot jet tempur F-15 yang ikut serta dalam koalisi melawan kelompok radikal

(ISIS) di Suriah pada September 2014 lalu. Sementara untuk ketiga putra bungsu Raja Salman, yakni Pangeran Nayif, Pangeran Bandar dan Pangeran Rakan, tidak banyak informasi yang bisa diketahui.

Pangeran Khalid bin Salman Foto: Getty Images/thetimes.co.uk

tirto.id - Al-Malik al-Nasir Yusuf Ibn Najm al-Din Ayyub Ibn Shahdi Abu’l-Muzaffar Salah al-Din, atau oleh Pasukan Salib dikenal dengan nama Saladin adalah pahlawan terbesar Muslim dalam sejarah Perang Salib (1095-1291). Banyak kronik menyebutkan dirinya adalah sosok bijaksana yang memiliki keberanian luar biasa. Di samping itu, dia juga dikenal sebagai pemimpin politik dan militer yang mumpuni.

Untuk perkara yang disebutkan terakhir, terdapat testimoni yang ditulis oleh Ibn Syaddad—salah seorang hakim militer Saladin yang banyak menulis tentang cerita kegemilangannya dalam Perang Salib—sebagaimana dikutip ulang oleh Carole Hillenbrand dalam Perang Salib: Sudut Pandang Islam (2005), hlm. 219:

“Sebagai seorang panglima dan mujahid agung tentu saja mendapat tempat yang membanggakan. Ia begitu dikenal oleh para prajurit biasa di pasukannya, menciptakan ikatan-ikatan kesetiaan dan solidaritas, dan memperbaiki moral hukum. Dia berjalan melintas di antara seluruh pasukan dari sayap kanan hingga kiri, dengan menciptakan rasa persatuan dan mendorong mereka untuk maju dan berdiri kokoh pada saat yang tepat.”

Dalam pertempuran di lembah Hattin pada 3-4 Juli 1187, Saladin menang telak atas penguasa Yerusalem, Raja Guy de Lusignan. Beberapa bulan setelahnya, tepatnya pada 2 Oktober 1187, Saladin berhasil menaklukkan kota Yerusalem. Semenjak itu, namanya menjadi begitu terkenal sekaligus ditakuti oleh dunia Kristen Eropa.

Pada akhir Oktober 1187, ketika berita tentang kemenangan Saladin di Hattin dan jatuhnya kembali Yerusalem ke tangan tentara Muslim mulai terdengar di Eropa, orang-orang sangat terkejut.

Sebagaimana ditulis David Nicole dalam The Third Crussade 1191: Richard the Lionheart, Saladin and the struggle for Jerusalem (2006), Paus tua, Urban III terkejut dan lemah karena kabar jatuhnya Yerusalem ke tangan tentara Muslim. Ia meninggal karena kesedihan yang mendalam atas yang terjadi di Yerusalem.

Pada 29 Oktober 1187, penggantinya, Paus Gregorius VIII, mengeluarkan seruan terkenalnya yang disebut Bull Audita Tremendi sebagai tanggapan atas jatuhnya kembali Yerussalem di tangan tentara Muslim. Isi dari Bull Audita Tremendi adalah gambaran mengenai kengerian Pertempuran Hattin dan merinci kekejaman yang dilakukan tentara Muslim setelahnya.

Tak hanya itu, dalam seruannya tersebut Paus Gregorius VIII juga menyalahkan kaum Frank atas dosa-dosa yang telah mereka lakukan di negara-negara tentara salib. Ia juga bersikeras bahwa orang Kristen yang tinggal di Eropa juga turut bertanggung jawab atas yang telah terjadi di Yerusalem.

Di seluruh Eropa, orang-orang sangat tersentuh akan maklumat Paus tersebut. Banyak yang tertarik untuk bergabung mengabdikan diri sebagai bagian dari Tentara Salib karena jaminan penebusan dosa yang ada dalam Bull Audita Tremendi.Dari situlah titik balik Perang Salib III atau yang lebih dikenal dengan sebutan Perang Salib Para Raja.

Merencanakan Serangan Balasan

Perang Salib tak lepas dari kisah tentang dua tokoh sejarah besar yang telah mendominasi jalannya Perang Salib III, yakni Saladin dan Richard I The Lionheart. Sejak akhir abad ke-12, Perang Salib lebih sering digambarkan sebagai duel pribadi antara dua sosok pemimpin militer beda kubu tersebut.

Bahkan, banyak sekali karya-karya lukisan pada abad pertengahan yang menunjukkan Richard I The Lionheart dan Saladin terkunci dalam pertempuran tunggal satu lawan satu. Adegan ini sebenarnya adalah fiksi. Richard dan Saladin tidak pernah benar-benar bertemu secara langsung satu sama lain. Meski demikian, pasukan mereka terlibat dalam beberapa pertempuran selama Perang Salib III berlangsung, tulis Nicholson Helen dan David Nicole dalam God’s Warriors: Crusaders, Saracens and The Battle For Jerusalem (2005).

Perang Salib III mulanya akan dipimpin oleh Frederick I Barbarossa dari Jerman, Philip II Augustus dari Prancis, dan Richard I The Lionheart dari Inggris yang akan melawan Salahhudin Al-ayubi di pihak lawan. Akan tetapi, hanya Raja Philip II Augustus dan Richard I The Lionheart yang benar-benar sampai ke Yerusalem karena nasib nahas menimpa Raja Frederick I. Dia tewas tenggelam dalam balutan baju zirahnya di sungai Goksu dekat Kastil Silifke di wilayah Selatan Turki.

Selain motif agama, Paus Gregorios VIII juga memiliki motif politik yang kuat di balik seruan Bull Audita Tremendi yang melatarbelakangi ekspedisi Perang Salib III. Motif tersebut menurut Carole Hillenbrand dalam Perang Salib Sudut Pandang Islam, hlm. 32-34 (2005) adalah agar pertengkaran menahun antara Kerajaan Prancis dan Inggris yang melemahkan kekuatan kerajaan Kristen Eropa, bisa segera mereda jika mereka bersatu dalam satu tujuan bersama.

Hal tersebut dalam pandangan Paus Gregorius VIII akan mengalihkan energi perangdua kerajaan yang berselisih itu, sekaligus dapat mengurangi ancaman langsung bagi masyarakat Eropa akibat perang berkepanjangan yang mereka lakukan. Ide Paus ini hanya berhasil dalam waktu singkat. Kedua raja, yakni Raja Philip II Augustus dan Richard I The Lionheart pada kenyataannya hanya mampu menyisihkan perbedaan pendapat dalam rentang waktu beberapa bulan selama berlangsungnya ekspedisi tersebut.

Pada tahun-tahun setelah kemenangan besarnya di Hattin dan Yerusalem pada 1187, kekuatan politik dan militer Saladin mulai menurun. Perpecahan dalam dunia Islam mulai muncul kembali, dan upaya Saladin menaklukkan benteng tentara salib yang tersisa masih menuai kegagalan.

Pada musim dingin 1187–1188, Saladin menyerang pelabuhan tentara salib terakhir di Titus, tetapi kota itu berhasil dipertahankan oleh Conrad dari Montferrat, bangsawan Italia yang baru tiba di Yerusalem.

Tak lama kemudian, Saladin membebaskan Raja Guy de Lusignan yang sebelumnya telah mengambil sumpah darinya untuk tidak kembali memeranginya. Hal ini kelak akan menjadi salah satu keputusan paling mahal yang pernah diambil Saladin. Tak lama setelah dibebaskan, Raja Guy de Lusignan bertemu uskup yang mengataan padanya bahwa sumpah yang diambil kepada orang kafir (baca: Muslim) tidak mengikat bagi orang Kristen.

Pada Agustus 1189 Raja Guy berhasil mengumpulkan beberapa ribu pengikutnya yang masih setia untuk melakukan pengepungan terhadap Kota Acre--salah satu pelabuhan terpenting di pantai Mediterania. Raja Guy menempatkan pasukannya di sebuah bukit rendah yang disebut Gunung Toron, hampir satu mil di sebelah timur Acre (The Third Crusade, hlm. 110).

Infografik Mozaik Kekalahan Saladin di Perang Salib III. tirto.id/Lugas

Serangan cepat dari pasukan Saladin yang jumlahnya lebih banyak bisa saja menghabisi kaum Frank, tapi dia terlalu hati-hati dan mengatur posisi bertahan sekitar enam mil jauhnya ke tenggara Acre. Selama satu setengah tahun berikutnya, pengepungan Acre masih menemui jalan buntu. Kaum Frank berkemah di parit antara tentara Saladin dan garnisun Muslimnya di dalam kota.

Pasukan Salib kemudian terus membanjiri Acre, salah satunya pasukan Conrad de Montferrat yang sering disebut sebagai gelombang pertama kedatangan tentara salib dari Eropa pada Perang Salib III. Meski demikian, kaum Frank tidak dapat menghancurkan tembok kuat yang mengelilingi kota tersebut.

Musim dingin tahun 1189 dan 1190 sangat keras, kekuatan kedua belah pihak--Tentara Salib dan pasukan Muslim—dilemahkan oleh penyakit menular dan kekurangan bahan makanan yang semakin terasa. Meski demikian, kota Acre masih berhasil menahan serangan gencar yang dilakukan oleh gabungan tentara Frank milik Guy dan Conrad de Montferrat.

Pada permulaan tahun 1191, Saladin menerima kabar bahwa Raja Inggris dan Prancis beserta pasukannya tengah dalam perjalanan menuju Acre untuk membantu pengepungan. Pasukan Raja Prancis tiba pada 20 April 1191. Raja Philip II Augustus menghabiskan sebagian besar waktunya untuk membangun strategi pengepungan dan melecehkan para prajurit Muslim yang berada di dalam benteng kota.

Dua bulan kemudian, tepatnya pada 8 Juni 1191, Raja Richard The Lionheart dari Inggris juga tiba dengan 25 kapal untuk membantu Tentara Salib dengan melakukan blokade laut.

Keterampilan taktis dan kemampuan militer Richard The Lionheart membuat perbedaan besar bagi jalannya pengepungan. Hal ini memungkinkannya mengambil alih komando Pasukan Salib. Pada 2 Juli 1191, 200 armada besar kapalnya tiba.

Karena kian terdesak dari darat dan laut, pada 11 Juli 1191 Saladin memutuskan untuk melancarkan serangan penghabisan terhadap lebih dari 50.000 Tentara Salib yang mengepung di luar benteng, namun kegagalan. Akhirnya pada 12 Juli 1191, tepat hari ini 830 tahun silam, Acre jatuh ke tangan Raja Richard I The Lionheart dan Philip II Augustus. Ini adalah kekalahan pertama Saladin dalam pertempuran di Yerusalem sejak dia berkuasa pada Oktober 1187.

Nationalgeographic.co.id – Raja Charles III telah resmi dinobatkan menjadi raja Kerajaan Inggris. Dia dinobatkan karena garis keturunan leluhurnya.

Namun, dulu di awal kerajaan berdiri, apa yang membuat seorang bisa menjadi raja? Apakah otoritasnya atas penduduk di suatu wilayah atau kekuasaannya di suatu wilayah? Apakah mungkin karena seseorang mengenakan mahkota sehingga ia diangkat menjadi raja?

Ini adalah pertanyaan kunci untuk menentukan kapan dan mengapa suatu kerajaan berkembang. Contohnya, dalam kasus Kerajaan Inggris, siapa raja pertama di Inggris, sebelum singgasana kerajaan itu kini diduduki oleh Raja Charles?

Sejarah mencatat, Aethelstan dinobatkan sebagai Raja Anglo-Saxon pada tahun 925 dan konsensus ilmiah menempatkannya sebagai raja pertama Inggris. Jawaban ini terkesan singkat, tetapi cerita sejarahnya cukup panjang dan berbelit untuk diuraikan dan disepakati.

Cerita dimulai dengan Angles

“Untuk benar-benar mulai menemukan raja pertama Inggris, seseorang harus mulai dengan Angles,” tulis Melissa Sartore di laman National Geographic.

Nama England atau Inggris berasal dari kata Inggris Kuno Englaland, yang secara harfiah berarti tanah para Angles. Kedatangan suku-suku Jermanik ini ke tempat yang dulunya merupakan provinsi Romawi Britannia itu terjadi pada abad ke-5. Di samping Jute, Saxon, dan Frisia, Angles mendirikan permukiman di tenggara dan timur Inggris selama abad ke-6.

Seiring waktu, bahasa dan budaya Jermanik menyatu dengan praktik dan tradisi Romawi-Inggris yang ada. Pada tahun 600 Masehi, masing-masing kerajaan terbentuk di seluruh Kepulauan Inggris.

Kerajaan Jermanik ini dibentuk sesuai dengan orang-orang yang tinggal di suatu daerah, berlawanan dengan batas atau perbatasan fisik. Belakangan, kerajaan-kerajaan yang lebih kecil bergabung menjadi lebih besar, dan apa yang disebut Heptarkhia muncul.

Heptarkhia adalah penyederhanaan yang sangat besar dari pengaturan sosial, politik, dan agama yang kompleks di Inggris. Heptarkhia dibentuk dari tujuh kerajaan: Wessex, Kent, Sussex, Mercia, East Anglia, Northumbria, dan Essex.

Setiap kerajaan besar mencakup kerajaan kecil dengan pemimpinnya sendiri. “Banyak di antaranya bersaing untuk mendapatkan kekuasaan dalam lingkup pengaruh yang lebih besar,” tambah Sartore.

Aturan diciptakan dan dipertahankan melalui hubungan timbal balik yang didasarkan pada kesetiaan dan perlindungan. Sistem ekonomi bergantung pada iuran dan layanan yang terkoordinasi.

Peran Mercia dan bretwalda

Kerajaan-kerajaan besar di Inggris saling bersaing untuk menjadi yang teratas. Pada akhirnya menghasilkan perjuangan yang berputar di sekitar Kerajaan Mercia yang mendominasi kerajaan lain selama sebagian besar abad ke-8.

Ini mirip dengan apa yang dijelaskan Bede dalam Ecclesiastical History. Di sana disebutkan ada seorang penguasa yang "berkuasa" atas orang-orang di luar kerajaannya sendiri.

Kronik Anglo-Saxon menggunakan istilah bretwalda untuk mewakili konsep ini. Kronik itu menerapkan istilah tersebut pada raja-raja Anglo-Saxon yang memerintah sejak akhir abad ke-5.

Sejarah mencatat, hegemoni Mercia akhirnya bergeser, terutama pada masa pemerintahan Raja Eghbert dari Wessex (memerintah 802-839 Masehi). Di bawah Raja Eghbert, Wessex mengalahkan bangsa Mercia di pertempuran Ellendon pada tahun 825 Masehi. Setelah itu kerajaan-kerajaan besar mengakui supremasinya.

Kronik Anglo-Saxon mengidentifikasi Raja Eghbert sebagai seorang bretwalda. Identifikasi tersebut berfungsi sebagai inti dari dasar argumentasi sebagian orang bahwa Eghbert adalah raja pertama Inggris.

Apakah Raja Eghbert benar-benar bisa disebut sebagai raja pertama Inggris? Sejarah mencatat bahwa Kerajaan Wessex di bawah kendali Eghbert memang berhasil melakukan suksesi damai untuk keturunannya. Namun, kekuasaan kerajaannya belum benar-benar luas di Tanah Inggris.

Setelah kematian Eghbert, sang putra Aethelwulf naik takhta. Seorang putra yang naik tahta setelah kematian ayahnya ini menanamkan prinsip suksesi turun-temurun di Wessex.

Setelah kematian Raja Aethelwulf, tiga putranya menjabat sebagai Raja Wessex, yang akhirnya mengarah pada suksesi yang keempat pada tahun 871 Masehi. Ini adalah Alfred, pesaing lain yang juga kerap dianggap sebagai Raja Inggris pertama.

Alfred, penguasa yang tidak terduga

Alfred seharusnya tidak pernah memerintah Wessex. Ketika kakak laki-lakinya Aethelred meninggal saat berkampanye melawan perampok Skandinavia, Alfred menjadi raja.

Sebagai Raja Wessex, Alfred terus mempertahankan kerajaannya dari apa yang disebut Kronik Anglo-Saxon sebagai Great Heathen Army. Terdiri dari orang Denmark, Norwegia, dan Swedia, Great Heathen Army pertama kali tiba di Anglia Timur pada tahun 865 Masehi. Dalam satu dekade, satu-satunya kerajaan yang bertahan adalah Wessex.

Setelah mengalahkan pasukan Skandinavia di Pertempuran Edington pada tahun 878 Masehi, Alfred membuat perjanjian damai dengan pemimpin mereka, Guthrum. Perjanjian itu secara resmi menetapkan batas antara Wessex dan wilayah yang dikuasai Viking.

Namun, kehadiran permanen Skandinavia di utara, serangan Viking yang terus berlanjut, mendorong Alfred untuk mengambil langkah mengamankan kerajaan. Dia mereformasi militer dan mendirikan permukiman pertahanan. Alfred juga mendirikan angkatan laut untuk mempertahankan pantai Wessex dari serangan.

Bersamaan dengan upaya ini, Alfred melakukan aktivitas intelektual yang dianggap membantu menciptakan identitas budaya dan politik Inggris. Semua ini — dan penunjukan Alfred sebagai Raja Anglo-Saxon— menjadi alasan kuat untuk menyebutnya sebagai raja pertama Inggris.

Aethelstan, raja pertama Inggris

Alfred meninggal pada tahun 899 Masehi dan putranya, Edward the Elder, naik takhta. Edward memerintah sampai tahun 924. Setelah kematiannya, putranya Aethelstan dimahkotai sebagai raja pada tahun 925 Masehi.

Sama seperti kakek dan ayahnya, Aethelstan memulai sebagai Raja Anglo-Saxon. Dia berbeda dalam luas wilayah kekuasaannya, terutama setelah Pertempuran Brunaburh pada tahun 937 Masehi.

Pada akhir masa pemerintahan Aethelstan, dia mencapai lebih banyak sentralisasi birokrasi dan administrasi daripada para pendahulunya. Oleh para sejarawan, ia dianggap sebagai raja pertama Kerajaan Inggris.

Otoritas Aethelstan tidak pernah terbantahkan. Menurut Kronik Anglo-Saxon, dia juga menjadi raja yang membawa wilayah York dan Northumbria.

Pada tahun 937, raja-raja Skotlandia, Viking Dublin, dan sebagian Wales bersatu melawan Aethelstan. Mereka bertempur di Brunanburh.

Lokasi pasti Brunanburh masih belum jelas. Namun pertempuran yang terjadi di sana dianggap oleh banyak sarjana sebagai salah satu peristiwa penting dalam sejarah Inggris.

Pertempuran itu berakhir dengan kemenangan Aethelstan di Brunanburh. Hasilnya, kekuasaan Raja Anglo-Saxon semakin meluas hingga ke Skotlandia dan Wales. Itu juga memperkuat kekuasaannya atas seluruh Inggris.

Baca Juga: Kerap Bernasib Buruk, Benarkah Nama Raja Charles Membawa Kutukan?

Baca Juga: Bintang Afrika, Berlian Kontroversial di Tongkat Kerajaan Charles III

Baca Juga: Sejarah Dramatis Mahkota St Edward yang Digunakan Raja Charles III

Aethelstan hanya hidup selama 2 tahun setelah pertarungan tersebut. Namun bagi banyak orang, dia menjadi raja Inggris pertama yang sebenarnya dengan kemenangan itu.

Pada akhir masa pemerintahan Aethelstan, dia mencapai lebih banyak sentralisasi birokrasi dan administrasi daripada para pendahulunya. Maka tidak heran jika sejarawan menganggap ia sebagai raja pertama Kerajaan Inggris.

Kerajaan itu masih bertahan hingga sekarang, dengan Raja Charles yang kini melanjutkan takhta tersebut.

78% Daratan di Bumi Jadi Gersang dan Tidak akan Pernah Basah Kembali

Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.

TRIBUNNEWS.COM - Ratu Elizabeth II telah meninggal dunia pada usia 96 tahun, Kamis (8/9/2022) di Kastil Balmoral, Skotlandia.

Elizabeth II merupakan raja terlama di Inggris, yang memerintah selama 70 tahun.

Dengan meninggalnya Ratu Elizabeth II, maka Pangeran Charles akan menjadi penerus takhta Kerajaan Inggris sebagai Raja Charles III.

Britania Raya adalah monarki konstitusional, di mana raja berbagi kekuasaan dengan pemerintah yang terorganisir secara konstitusional.

Raja atau ratu yang memerintah adalah kepala negara.

Semua kekuatan politik berada di tangan perdana menteri (kepala pemerintahan) dan kabinet, dan raja harus bertindak atas saran mereka.

Baca juga: Prosesi Pemakaman Ratu Elizabeth II akan Berlangsung Selama 10 Hari

Berikut ini daftar raja dan ratu Inggris dari pertama hingga sekarang, dikutip dari Britannica:

Egbert: Dinasti Saxon (802-839 M)

Aethelwulf: Saxon (839-856/858 M)

Aethelbald: Saxon (855/856-860 M)

Aethelberht: Saxon (860-856/866 M)

Aethelred I: Saxon (865/866-871 M)

Alfred the Great: Saxon (871-899 M)